Senin, 19 Juli 2010

UNSUR-UNSUR KEJAHATAN PERBANKAN DALAM KASUS BANK CENTURY

Kasus Bank Century dinilai sebuah kejahatan perbankan yang berkelanjutan. Para pihak yang berwenang dalam proses Century harus mempertanggungjawabkan secara hukum dan politik.

Komisi XI DPR berpendapat dalam kasus Bank Century terdapat indikasi terjadi berbagai tindak pidana atau kejahatan perbankan yang harus diusut tuntas . Juga terjadi penyalah gunaan wewenang oleh Bank Indonesia dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang beranggotakan Gubernur BI dan Menteri Keuangan . Juga ada indikasi penggunaan keuangan negara didalam penyelamatan Bank Century , pembengkakan dana talangan . Kalangan anggota Komisi XI juga menyebutkan bahwa kasus ini bisa menyeret Menteri Keuangan Sri Mulyani , walaupun tidak terlibat secara langsung , tetapi dia pengambil keputusan didalam penyelamatan Bank Century dengan dana Rp 6,7 Trilyun .

Pendapat Komisi XI DPR itu setelah membahas dan mempelajari hasil Audit BPK terhadap Bank Century . Kalangan Komisi XI juga memnginginkan laporan tentang aliran dana sebesar Rp 6,7 trilyun tersebut , kepada siapa dan untuk apa sehingga lebih jelas siapa yang terlibat didalam tindak kejahatan perbankan itu .

Dengan indikasi tersebut maka dianggap wajar jika kasus Bank Century dianggap sebagai skandal, sebab apa yang terjadi sangat merugikan negara . Disana ada penggunaan dana untuk kridit fiktif dan kaburnya keuangan ke luar negeri , serta pembengkakan dana talangan yang tadinya sekitar Rp 632 milyar , lalu menjadi Rp 6,7 trilyun . Menurut pihak Pemerintah dalam hal ini Menteri keuangan membengkaknya kebutuhan dana karena kondisi Bank Century jauh lebih parah dari yang diperkirakan . Dasar hukumnya adalah UU nomor 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan , yang bertanggung jawab kepada Presiden dan tidak perlu dilaporkan kepada Presiden .

Namun demikian di dalam perjalanan ternyata terjadi berbagai kejahatan seperti pemberian kredit fiktif , pelanggaran batas maksimal pemberian kridit , pengeluaran fiktif, pelanbggaran posisi devisa netto , kejahatan surat-surat berharga yang kesemuanya telah merugikan negara sebab dana talangan yang dikucurkan disalah gunakan .

Dalam kasus perampokan uang rakyat melalui penyaluran dana talangan (bail out) kepada Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun, Front Oposisi Rakyat (FOR) Indonesia menilai rezim SBY-DPR gagal.

Dengan selesainya Pansus Bank Century, sangat wajar dan bijak kalau semua pihak mengalihkan permasalahan politik ke masalah hukum. Salah satu hal yang penting, tetapi ”luput” dari perhatian, adalah bagaimana upaya menarik kembali dana-dana hasil ”jarahan” yang ditempatkan di sejumlah bank di luar negeri.

Upaya menarik kembali dana di bank-bank luar negeri pada umumnya menghadapi masalah teknis yang berkaitan dengan undang-undang kerahasiaan nasabah. Sekalipun ada bukti awal bahwa dana tersebut berasal dari hasil kejahatan perbankan, tetapi demikian undang-undang kerahasiaan nasabah berlaku di semua negara.

Ada cerita ”sukses” yang bisa menjadi pembelajaran, di mana kerahasiaan nasabah dapat ”ditembus” sekalipun itu terjadi di negara Swiss, yang katanya merupakan ”surga” sekaligus negara paling aman di dunia untuk menyimpan dana, baik yang legal maupun tidak. Namun, jarang diketahui bahwa undang-undang kerahasiaan selalu menjadi harga mati.

Berdasarkan The Federal Law on Bank and Savings Bank 1934, semua bank di Swiss ternyata tetap melindungi nasabahnya sekalipun uang itu berasal dari kegiatan yang dianggap ilegal, seperti dana yang berasal dari hasil kejahatan dan korupsi di negara lain.

Perlakuan seperti itu sangat jelas tidak bisa diterima negara-negara lain karena uang hasil korupsi dan kejahatan perbankan jelas harus diusut tuntas karena merugikan negara. Salah satu negara yang pernah sangat gusar adalah Amerika Serikat. Cerita kegusaran Amerika atas sikap bank-bank di Swiss pernah dimuat di majalah Time, 15 Maret 1982. Kegusaran itu bermula dari sebuah perusahaan Amerika, Seagram Co Ltd, yang akan membeli saham St Joe Mineral Corp. Akan tetapi, sebelum saham itu ditawarkan kepada masyarakat melalui prospektus, ternyata the Bancadella Svizzera Italiana Swiss (BSIS), yaitu sebuah bank di Swiss, telah terlebih dahulu membelinya atas kepentingan nasabahnya.

Modus operandi BSIS itu ternyata juga diikuti oleh Swiss Bank Corporatian (SBC) yang membeli saham-saham Samta Fe International Corp USA. Lantas, mengapa atas transaksi itu membuat Amerika menjadi berang? Sederhana saja. Karena ternyata transaksi tersebut menghasilkan keuntungan ilegal yang jumlahnya pada saat itu mencapai 7 juta dollar AS.

Kegusaran itu diwujudkan melalui tindakan SEC (Stock American Exchange) yang mengajukan tuntutan. Dasar tuntutannya adalah karena transaksi itu jelas termasuk kegiatan insider trading, di mana pihak SEC dapat membuktikannya. Pihak SEC berkeyakinan, nasabah BSIS dan SBC adalah ”orang dalam” yang berasal dari kalangan St Joe Mineral ataupun Santa Fe Internasional.

Cara yang dilakukan SEC memang berkesan cowboy, yaitu dengan memberikan ancaman kepada Pemerintah Swiss. Bentuk ancaman SEC itu sederhana saja. Bahwa apabila Pemerintah Swiss tetap tidak mengizinkan banknya untuk memberikan nama-nama nasabahnya, semua bank di Swiss tidak diperbolehkan melakukan transaksi di pasar modal Amerika.

Pendekatan cowboy tersebut ternyata membuahkan hasil. Pemerintah Swiss pada akhirnya bersikap realistis karena kalau ancaman SEC dilaksanakan, bank-bank di Swiss akan kehilangan bisnisnya di pasar modal Amerika, yang pada waktu itu saja sudah mencapai 8,5 juta dollar AS.

Tidak heran kalau pada akhirnya ancaman SEC itu dipenuhi pemerintahan Swiss dan menghasilkan kesepakatan dalam dua hal. Pertama, bank-bank di Swiss akan memberikan nama nasabahnya yang terbukti melakukan insider trading. Kedua, semua nasabah bank di Swiss, apabila akan membeli saham di Amerika, harus mau menandatangani apa yang disebut scretcy waiver, yaitu suatu surat pernyataan untuk melepaskan diri dari ketentuan rahasia bank.

Ilustrasi kegusaran SEC dengan ala cowboy-nya itu tidak berlebihan kalau dijadikan salah satu bentuk inspirasi dalam rangka menarik kembali uang hasil jarahan yang dilakukan para oknum di Bank Century. Apalagi di antara para pelakunya ada yang sudah jelas status hukumnya sehingga mempunyai alasan yang kuat.

Pemerintah Indonesia tentunya bisa melakukan negosiasi bagaimana agar negara-negara yang menjadi tempat penyimpanan dana hasil jarahan oknum Bank Century mau bekerja sama. Tidak usah dengan ala cowboy seperti Amerika, tetapi cukup dengan upaya diplomasi yang elegan. Ideal sekali kalau juga dibarengi adanya komitmen bersama pemerintah, penegak hukum, dan DPR.

Upaya apa dan dengan modus seperti apa agar dana yang dilarikan ke luar negeri oleh oknum Bank Century bisa kembali tidaklah sulit. Kalau terpaksa, sebenarnya kita tidak kekurangan ide ala cowboy seperti yang dilakukan di Amerika. Intinya adalah adanya kemauan karena semua persoalan selalu sulit sebelum menjadi mudah.

Untuk mewujudkan itu, barangkali belum ada adalah ”kekompakan” secara politik antara pemerintah dan DPR untuk menganggap bahwa upaya mengejar dana hasil jarahan adalah kepentingan bersama. Sangatlah tidak berbudi pekerti yang baik kalau berpikiran sekiranya dana hasil jarahan itu kembali, berarti tidak terbukti ada kerugian negara dalam kasus Bank Century.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar