Rabu, 28 Juli 2010

PENYESALAN SEORANG HAMBA

Kenangan pahit masa lalu

masih terus teringat dalam sel –sel otakku

Teringat dosa-dosa yang mengantarkan aku

pada derita yang berkepanjangan

Kini……

ketika akal hampir tak mampu lagi mengingatMu,

ketika bibir hampir tak mampu lagi menyebut asmaMu,

hanya do’a yang selalu terpanjatkan

bagiMu Sang pencipta semesta

Dalam setiap sujud aku memohon

Berharap keajaiban akan datang,

berharap akan ada ampunan untuk segala kenistaan

Ya Rabb…

Pantaskah diri ini mendapat secercah keagunganMu?

Pantaskah diri ini mendapat setetes rahmatMu?

Sementara aku tau

Engkau telah murka karenaku

Dan…

saat raga telah berada dalam ketidak berdayaan

Engkau hadir…

Menemaniku dalam kesendirian

Melindungiku dari keburukan dunia

Kau limpahkan anugerahMu

Pada tubuh mungilku yang telah penuh dengan dosa-dosa

Dalam sekejap…

aku telah merasakan segala nikmatMu,

merasakan keindahan hidup

yang telah Kau anugerahkan padaku

TEROR ILMU HITAM

“Anak-anak, segera siapkan pakaian kalian! Karena malam ini kita akan menginap di rumah tante Yuli,” kata papa setibanya ia di rumah.

Aku, kak Rista, kak Wina dan saudaraku yang lain yang tadinya sedang asik bergurau tentu saja heran dengan apa yang di ucapkan papa barusan.

“Emang ada apa pa?” Tanya mama yang juga ikut heran.

“Begini, kata Yuli, rumah kita sekarang jadi incaran orang-orang yang menggunakan ilmu hitam. Dan tepatnya jam dua belas malam ini terror ilmu hitam itu akan mengenai kita entah lewat perantara apa. Yang jelasnya kita harus segera meninggalkan rumah ini sebelum waktunya tiba. Kalau tidak, kita semua akan celaka,” jawab papa lagi.

“Apa?” teriakku.

Aku tentu saja ngga’ habis pikir kenapa ada orang yang tega berbuat sebejat itu pada kami.

“Tapi mana mungkin ini bisa terjadi pa?” Tanya ka’ Rista.

“Sudah, ngga’ usah banyak tanya dulu. Kita harus buru-buru. Waktu kita tinggal sedikit. Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas,” jawab papa lagi.

Sambil merapikan pakian-pakaianku, aku terus saja berpikir. Ini benar-benar di luar akal sehatku.

“Reni, cepat!” perintah papa padaku.

“Iya pa, bentar lagi!” jawabku.

Setelah yang lain selesai mengemaskan pakaian, mereka kini tinggal menungguku yang masih sibuk dengan pakaian-pakaian yang belum selesai aku kemasi.

“Cepat Ren’ lima menit lagi jam dua belas malam,” kata mama.

“Iya ma,” jawabku.

Saat aku berdiri dan berniat meninggalkan kamar, tiba-tiba handphoneku berbunyi. Karena buru-buru, aku langsung merejectnya tanpa menyadari bahwa ternyata terror ilmu hitam yang akan datang itu bisa mengenai siapa pun dan lewat perantara apapun. Yang lebih parah lagi, ternyata jam sudah menunjukkan tepat pukul dua belas malam. Tiba-tiba saja aku merasa seperti disengat listrik. Badanku terasa lemas, dan aku jatuh terkulai di lantai. Aku merasa semua badanku terasa sakit. Pandanganku terlihat kabur. Seketika itu juga aku sadar bahwa aku telah menjadi korban terror ilmu hitam itu. Namun sudah telambat, aku sudah terlanjur jatuh. Aku hanya bias berdo’a semoga semuanya dapat disembuhkan.

“Ya Tuhan, apakah hidupku akan berakhir sampai di sini?” bisikku dalam hati.

Dan setelah itu, aku tak sadarkan diri.

***

Saat aku membuka mata, aku merasa semuanya berubah. Suasananya beda dengan suasana di rumah.

“Di mana aku?” tanyaku pada mama.

“Sekarang kamu berada di rumah sakit. Semalam kamu pingsan karena terror ilmu hitam itu. Makanya kami melarikan kamu ke sini,” jawab mama pelan.

Tak lama kemudian, terdengar ketukan dari luar pintu. Mama bergegas melangkah ke arah pintu dan membukanya. Begitu kagetnya aku saat melihat ternyata yang datang adalah teman-teman serta senior- senior aku.

“Hai Ren, gimana keadaan kamu sekarang?” Tanya Rifah.

“ Udah agak mendingan kok,” jawabku.

“Syukur deh kalo gitu,” kata Suci.

“Dari mana kalian tau kalo aku masuk rumah sakit?” tanyaku lagi.

“Begini, kemaren kebetulan kami semua lagi pada ngumpul di secretariat kampus. Trus tiba-tiba ada telpon dari mama kamu. Katanya kamu masuk rumah sakit karena terkena terror ilmu hitam,” jawab kak Arman, salah satu seniorku.

Aku sangat senang dengan kedatangan mereka semua. Tapi meskipun begitu, peristiwa terror itu masih terus memenuhi pikiranku.

Selang beberapa jam kemudian, waktu istirahat tiba. Semua teman dan keluargaku keluar dari ruangan dengan maksud beristirahat di rumah tante Yuli yang tidak jauh dari rumah sakit. Kini tinggal kak Arman, kak Haru dan kak Andre. Mereka sengaja tinggal untuk berjaga-jaga. Tapi belum genap sejam mereka berada di kamar itu, aku terbangun dan tiba-tiba saja aku melihat mereka semua berubah menjadi sosok yang sangat menakutkan. Seluruh tubuh mereka berubah jadi hitam dan sagat gelap. Kemudian kaki mereka yang awalnya menyentuh lantai jadi melayang. Wajah mereka begitu menyeramkan. Aku berteriak dan berusaha minta tolong, tapi tak ada satu pun orang yang mendengar teriakanku. Aku kemudian berlari menuju pintu lalu keluar dari kamar. Aku mengelilingi setiap sudut dan ruangan di rumah sakit, tapi aku tak melihat ada satu pun orang. Aku terus saja berlari sementara ketiga makhluk aneh dan meyeramkan itu terus saja mengejarku.

Setelah beberapa menit aku berlari, akhirnya aku terpikir untuk berlari menuju rumah tante Yuli yang jaraknya cukup dekat dari rumah sakit. Dengan sisa tenaga aku mencoba tetap berlari dan berusaha agar dapat sampai di tempat tujuan dengan selamat. Tak lama kemudian aku pun sampai. Tanpa permisi aku membuka pintu rumah tante Yuli dan mencari orang-orang yang mungkin saja ada di rumah itu. Aku kembali mencari di setiap sudut ruangan. Dan aku mendapatkan mereka semua sedang berkumpul di ruang belakang. Aku langsung berlari menuju mama dan memeluknya dengan erat. Rasa takut masih saja membayangiku.

“Ada apa Ren? Kenapa kamu ada di sini? Mana ketiga senior kamu?” Tanya mama padaku.

“Ma, mereka itu bukan senior aku. Mereka itu makhluk-makhluk jahat dan menakutkan yang mencoba membunuh aku!” teriakku pada mama.

“Makhluk menakutkan apa maksud kamu?” Tanya mama lagi.

“Itu hanya halusinasi kamu saja Ren,” tambah tante Yuli.

“Ngga’ mungkin tante! Aku melihat mereka dengan jelas. Awalnya memang mereka tampak seperti senior aku. Tapi tak lama kemudian mereka tiba-tiba berubah menjadi makhluk yang sangat menakutkan. Aku berusaha teriak tapi tak ada satupun yang mendengar teriakanku. Aku lalu berlari keluar ruangan tapi tak ada orang yang terlihat. Aku bahkan sudah mencari di setiap sudut ruangan, dan semuanya kosong,” jelasku.

Tak lama kemudian, datanglah kak Arman, kak Heru dan kak Andre. Mereka bertiga mendekati aku, tapi aku menghindar.

“Jangan mendekat! Kenapa kalian mengganggu aku? Salah aku apa?” teriakku pada ketiganya.

“Maksud kamu apa Ren? Kami ini teman kamu, bukan makhluk jahat. Dari tadi kami mengejar kamu hingga keluar rumah sakit. Bahkan semua orang-orang di rumah sakit juga ikut mengejarmu. Tapi kamu ngga’ peduli dan tetap saja lari.” Jawab kak Andre.

“Bohong! Kalian semu makhluk jahat!!!” balasku.

Aku lalu bersembunyi di belakang mama dan berusaha minta tolong padanya. Tapi mama tetap saja mengatakan kalau mereka itu senior aku.

“Aku ngga’ mau ma! Mereka itu mau membunuhku !” teriakku lagi.

Untung semuanya bisa menenangkan dan berhasil menjelaskan padaku kalau mereka bertiga memang benar senior-senior aku.

Sejam kemudian, suasana kembali tenang. Mama meminta kak Arman untuk menjelaskan semua kejadian yang sebenarnya.

“ Begini tante, tadi waktu kami menjaganya, tiba-tiba ia terbangun dan ketakutan melihat kami bertiga. Kami berusah menenangkan, tapi ia malah berteriak minta tolong. Kami lalu mendekatinya dan berniat menyuruhnya diam. Namun ia malah lari keluar ruangan. Ia berlari mengelilingi rumah sakit. Bahkan semua orang berusaha mencegahnya. Termasuk para dokter,” jelas kak Arman.

“Trus?” Tanya mama lagi.

“Ia tetap saja berlari. Malah ia semakin takut pada kami. Ia sama sekali tak mempedulikan orang-orang. Seolah-olah, hanya kami bertiga yang ada dalam penglihatannya,” tambah kak Andre.

“Aku rasa itu adalah akibat dari gangguan pikirannya. Ia masih saja terpikirkan oleh peristiwa semalam, sehingga terbawa sampai ke halusinasinya,” kata tante Yuli. Aku kemudian dibawa kembali ke rumah sakit dan diberi perawatan yang intensif oleh dokter.

***

Saat yang lain tertidur lelap, aku bangun dan berjalan meuju toilet dengan niat untuk buang air kecil. Akan tetapi di depan toilet aku dikagetkan lagi oleh sosok makhluk seram dan besar. Tampangnya lebih menakutkan dibanding ketiga makluk seram yangmengejarku tadi siang. Aku ketakutan dan teriak. Tapi makluk besar itu semakin mendekatiku dan mencekik leherku. Kini aku tak bisa apa-apa. Aku merasa bahwa ajal akan segera menjemputku. Aku merasakan satu persatu urat leherku mulai putus. Namun aku masih tetap berusaha teriak hingga aku tak sadarkan diri. Dan saat aku terbangun, aku sangat lega karena ternyata aku masih hidup. Tapi aku maresa ada hal yang aneh. Tiba- tiba saja aku berada di rumah. Aku kemudin bangkit dari tempat tidur dan berlari ke kamar mama dan papa. Mereka semua masih tertidur. Lalu aku berlari menuju ke kamar saudara-saudaraku. Mereka semua juga masih tidur lelap. Lalu teringat olehku teman-teman dan senior yang datang menjenguk aku di rumah sakit. Aku kembali berlari, dan sekarang menuju kamar tamu, tapi mereka semua ngga’ ada.

“Apa mereka semua sudah pulang?” tanyaku dalam hati.

Aku melihat ke arah jam dinding. Masih menunjukkan pukul tiga subuh.

“Ngga’ mungkin mereka pulang tengah malam” pikirku.

Aku pun kembali berjalan menuju kamar. Tapi aku ngga’ bisa tidur lagi. Aku masih saja memikirkan peristiwa teror itu hingga pagi menjelang.

Saat sarapan pagi, aku menanyakan keberadaan tema-temanku pada orang –orang serumah.

“Apa? Teman-teman kamu?” Tanya mama.

Aku jadi semakin heran dan bingung.

“Ren, kamu itu cuma mimpi. Aku juga dengar kok kamu teriak-teriak. Lalu aku dan Wirna berlari menuju kamar kamu dan menenangkan kamu. Abisnya, kamu teriak ketakutan gitu,” jelas kak Rista

“Jadi peristiwa teror ilmu hitam itu hanya mimipi?” gumamku. Tapi aku lega, karena semuanya bukan sungguhan. Jadi, aku tak perlu ketakutan lagi.

***

Senin, 19 Juli 2010

UNSUR-UNSUR KEJAHATAN PERBANKAN DALAM KASUS BANK CENTURY

Kasus Bank Century dinilai sebuah kejahatan perbankan yang berkelanjutan. Para pihak yang berwenang dalam proses Century harus mempertanggungjawabkan secara hukum dan politik.

Komisi XI DPR berpendapat dalam kasus Bank Century terdapat indikasi terjadi berbagai tindak pidana atau kejahatan perbankan yang harus diusut tuntas . Juga terjadi penyalah gunaan wewenang oleh Bank Indonesia dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang beranggotakan Gubernur BI dan Menteri Keuangan . Juga ada indikasi penggunaan keuangan negara didalam penyelamatan Bank Century , pembengkakan dana talangan . Kalangan anggota Komisi XI juga menyebutkan bahwa kasus ini bisa menyeret Menteri Keuangan Sri Mulyani , walaupun tidak terlibat secara langsung , tetapi dia pengambil keputusan didalam penyelamatan Bank Century dengan dana Rp 6,7 Trilyun .

Pendapat Komisi XI DPR itu setelah membahas dan mempelajari hasil Audit BPK terhadap Bank Century . Kalangan Komisi XI juga memnginginkan laporan tentang aliran dana sebesar Rp 6,7 trilyun tersebut , kepada siapa dan untuk apa sehingga lebih jelas siapa yang terlibat didalam tindak kejahatan perbankan itu .

Dengan indikasi tersebut maka dianggap wajar jika kasus Bank Century dianggap sebagai skandal, sebab apa yang terjadi sangat merugikan negara . Disana ada penggunaan dana untuk kridit fiktif dan kaburnya keuangan ke luar negeri , serta pembengkakan dana talangan yang tadinya sekitar Rp 632 milyar , lalu menjadi Rp 6,7 trilyun . Menurut pihak Pemerintah dalam hal ini Menteri keuangan membengkaknya kebutuhan dana karena kondisi Bank Century jauh lebih parah dari yang diperkirakan . Dasar hukumnya adalah UU nomor 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan , yang bertanggung jawab kepada Presiden dan tidak perlu dilaporkan kepada Presiden .

Namun demikian di dalam perjalanan ternyata terjadi berbagai kejahatan seperti pemberian kredit fiktif , pelanggaran batas maksimal pemberian kridit , pengeluaran fiktif, pelanbggaran posisi devisa netto , kejahatan surat-surat berharga yang kesemuanya telah merugikan negara sebab dana talangan yang dikucurkan disalah gunakan .

Dalam kasus perampokan uang rakyat melalui penyaluran dana talangan (bail out) kepada Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun, Front Oposisi Rakyat (FOR) Indonesia menilai rezim SBY-DPR gagal.

Dengan selesainya Pansus Bank Century, sangat wajar dan bijak kalau semua pihak mengalihkan permasalahan politik ke masalah hukum. Salah satu hal yang penting, tetapi ”luput” dari perhatian, adalah bagaimana upaya menarik kembali dana-dana hasil ”jarahan” yang ditempatkan di sejumlah bank di luar negeri.

Upaya menarik kembali dana di bank-bank luar negeri pada umumnya menghadapi masalah teknis yang berkaitan dengan undang-undang kerahasiaan nasabah. Sekalipun ada bukti awal bahwa dana tersebut berasal dari hasil kejahatan perbankan, tetapi demikian undang-undang kerahasiaan nasabah berlaku di semua negara.

Ada cerita ”sukses” yang bisa menjadi pembelajaran, di mana kerahasiaan nasabah dapat ”ditembus” sekalipun itu terjadi di negara Swiss, yang katanya merupakan ”surga” sekaligus negara paling aman di dunia untuk menyimpan dana, baik yang legal maupun tidak. Namun, jarang diketahui bahwa undang-undang kerahasiaan selalu menjadi harga mati.

Berdasarkan The Federal Law on Bank and Savings Bank 1934, semua bank di Swiss ternyata tetap melindungi nasabahnya sekalipun uang itu berasal dari kegiatan yang dianggap ilegal, seperti dana yang berasal dari hasil kejahatan dan korupsi di negara lain.

Perlakuan seperti itu sangat jelas tidak bisa diterima negara-negara lain karena uang hasil korupsi dan kejahatan perbankan jelas harus diusut tuntas karena merugikan negara. Salah satu negara yang pernah sangat gusar adalah Amerika Serikat. Cerita kegusaran Amerika atas sikap bank-bank di Swiss pernah dimuat di majalah Time, 15 Maret 1982. Kegusaran itu bermula dari sebuah perusahaan Amerika, Seagram Co Ltd, yang akan membeli saham St Joe Mineral Corp. Akan tetapi, sebelum saham itu ditawarkan kepada masyarakat melalui prospektus, ternyata the Bancadella Svizzera Italiana Swiss (BSIS), yaitu sebuah bank di Swiss, telah terlebih dahulu membelinya atas kepentingan nasabahnya.

Modus operandi BSIS itu ternyata juga diikuti oleh Swiss Bank Corporatian (SBC) yang membeli saham-saham Samta Fe International Corp USA. Lantas, mengapa atas transaksi itu membuat Amerika menjadi berang? Sederhana saja. Karena ternyata transaksi tersebut menghasilkan keuntungan ilegal yang jumlahnya pada saat itu mencapai 7 juta dollar AS.

Kegusaran itu diwujudkan melalui tindakan SEC (Stock American Exchange) yang mengajukan tuntutan. Dasar tuntutannya adalah karena transaksi itu jelas termasuk kegiatan insider trading, di mana pihak SEC dapat membuktikannya. Pihak SEC berkeyakinan, nasabah BSIS dan SBC adalah ”orang dalam” yang berasal dari kalangan St Joe Mineral ataupun Santa Fe Internasional.

Cara yang dilakukan SEC memang berkesan cowboy, yaitu dengan memberikan ancaman kepada Pemerintah Swiss. Bentuk ancaman SEC itu sederhana saja. Bahwa apabila Pemerintah Swiss tetap tidak mengizinkan banknya untuk memberikan nama-nama nasabahnya, semua bank di Swiss tidak diperbolehkan melakukan transaksi di pasar modal Amerika.

Pendekatan cowboy tersebut ternyata membuahkan hasil. Pemerintah Swiss pada akhirnya bersikap realistis karena kalau ancaman SEC dilaksanakan, bank-bank di Swiss akan kehilangan bisnisnya di pasar modal Amerika, yang pada waktu itu saja sudah mencapai 8,5 juta dollar AS.

Tidak heran kalau pada akhirnya ancaman SEC itu dipenuhi pemerintahan Swiss dan menghasilkan kesepakatan dalam dua hal. Pertama, bank-bank di Swiss akan memberikan nama nasabahnya yang terbukti melakukan insider trading. Kedua, semua nasabah bank di Swiss, apabila akan membeli saham di Amerika, harus mau menandatangani apa yang disebut scretcy waiver, yaitu suatu surat pernyataan untuk melepaskan diri dari ketentuan rahasia bank.

Ilustrasi kegusaran SEC dengan ala cowboy-nya itu tidak berlebihan kalau dijadikan salah satu bentuk inspirasi dalam rangka menarik kembali uang hasil jarahan yang dilakukan para oknum di Bank Century. Apalagi di antara para pelakunya ada yang sudah jelas status hukumnya sehingga mempunyai alasan yang kuat.

Pemerintah Indonesia tentunya bisa melakukan negosiasi bagaimana agar negara-negara yang menjadi tempat penyimpanan dana hasil jarahan oknum Bank Century mau bekerja sama. Tidak usah dengan ala cowboy seperti Amerika, tetapi cukup dengan upaya diplomasi yang elegan. Ideal sekali kalau juga dibarengi adanya komitmen bersama pemerintah, penegak hukum, dan DPR.

Upaya apa dan dengan modus seperti apa agar dana yang dilarikan ke luar negeri oleh oknum Bank Century bisa kembali tidaklah sulit. Kalau terpaksa, sebenarnya kita tidak kekurangan ide ala cowboy seperti yang dilakukan di Amerika. Intinya adalah adanya kemauan karena semua persoalan selalu sulit sebelum menjadi mudah.

Untuk mewujudkan itu, barangkali belum ada adalah ”kekompakan” secara politik antara pemerintah dan DPR untuk menganggap bahwa upaya mengejar dana hasil jarahan adalah kepentingan bersama. Sangatlah tidak berbudi pekerti yang baik kalau berpikiran sekiranya dana hasil jarahan itu kembali, berarti tidak terbukti ada kerugian negara dalam kasus Bank Century.